Pernah ga sih kamu lakuin sholat terus, tapi masih tetap lakuin perbuatan maksiat?
Kenapa yah kita masih suka STMJ (Sholat Terus Maksiat Jalan)? Apa penyebabnya?
Apa sholatku salah?
Atau diriku yang salah?
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim. Sholat merupakan ibadah mulia yang mempunyai peran penting bagi keislaman seseorang. Sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengibaratkan shalat seperti pondasi dalam sebuah bangunan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ
“Islam dibangun di atas lima hal: bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah, menegakkan shalat….” [HR Bukhâri dan Muslim]
Perlu kita ketahui bahwa setiap amal shalih membawa pengaruh baik kepada pelakunya. Pengaruh ini akan semakin besar sesuai dengan keikhlasan dan kebenaran amalan tersebut. Sebagaimana ibadah sholat ini, ketika dilakukan dengan sebenar-benarnya sholat maka akan berpengaruh kepada pelakunya berupa mencegah perbuatan keji dan munkar. Sebagaimana dengan firaman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Bacalah Kitab (Al-Qur-an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan ketahuilah mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-Ankabut/29:45]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Maksudnya, shalat itu mencakup dua hal : (pertama) meninggalkan berbagai kekejian dan kemungkaran dimana menjaga shalat dapat membawa kepada sikap meninggalkan hal-hal tersebut… (kedua) shalat mencakup pula upaya mengingat Allâh Azza wa Jalla. Itulah tuntutan yang paling besar”. [Lihat Tafsîr Ibni Katsir (VI/280-282) dengan diringkas]
Perbuatan fahisyah yang dimaksud pada ayat di atas adalah perbuatan keji contohnya zina, liwath (homoseks dengan memasukkan kemaluan di dubur) dan semacamnya. Sedangkan yang namanya munkar adalah perbuatan selain fahisyah yang diingkari oleh akal dan fitrah. [Lihat Taisir Al Karimir Rahman karya Syaikh As Sa’di, hal. 632 dan Syarh Riyadhis Sholihin karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 5: 45].
Seyogyanya, ketika kita terus menegakkan sholat, maka kita akan bisa mencegah perbuatan keji dan munkar. Karena sholat akan membuat kita jadi taat, Ibnu Mas’ud pernah ditanya mengenai seseorang yang biasa memperlama shalatnya. Maka kata beliau,
إِنَّ الصَّلاَةَ لاَ تَنْفَعُ إِلاَّ مَنْ أَطَاعَهَا
“Shalat tidaklah bermanfaat kecuali jika shalat tersebut membuat seseorang menjadi taat.” [HR. Ahmad dalam Az Zuhd, hal. 159 dengan sanad shahih dan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 13: 298 dengan sanad hasan dari jalur Syaqiq dari Ibnu Mas’ud].
Kita terus menegakan sholat, tetapi mengapa kita masih tetap melakukan maksiat? Apa mungkin kita telah sholat tapi hakikatnya kita belum sholat? Sebagaimana yang dikatakan oleh Al Imam Hasan al-Bashri : “Wahai, anak manusia. Shalat adalah yang dapat menghalangimu dari maksiat dan kemungkaran. Jika shalat tidak menghalangimu dari kemaksiatan dan kemungkaran, maka hakikatnya engkau belum shalat” [Ad-Dur al-Mantsur, 6/466].
Kita perlu menanamkan dalam mindset kita bahwa ibadah sholat ini memiliki beberapa manfaat yaitu antara lain :
1. Shalat adalah simbol ketenangan > [Abu Dawud, Bab Shalat ‘Atamah].
2. Shalat adalah Cahaya.
3. Shalat sebagai obat dari kelalaian > [Ibnu Khuzaimah, Bab: Jima’u Abwab Shalat]. Lihat juga [Silsilah Shahîhah, 657]. Lihat juga dalam Al-Quran surat [Al-A’rof ayat 205]
4. Shalat sebagai solusi problematika hidup > lihat [Ibnu Katsir, 7/39]. Dan lihat [Abu Dawud, Bab: Waqtu Qiyamin-Nabi].
5. Shalat menghapuskan dosa > [HR Bukhâri dan Muslim]
6. Shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwasanya shalat akan membawa cahaya yang menunjukkan pelakunya kepada ketaatan. Bersamaan dengan itu, maka shalat akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al-Qur`an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. [Al-‘Ankabût/29:45].
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Dalam shalat terdapat larangan dan peringatan dari bermaksiat kepada Allah”[Ath-Thabari, 20/41]. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 45 Allah memberitahukan bahwa sholat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar. Tentunya, sholat disini yakni sebenar-benarnya sholat, maksudnya ialah sholat tersebut dilakukan dalam bentuk sesempurna mungkin dengan memperhatikan dan memenuhi syarat sah diterimanya sholat, rukun sholat, perkara sunnah dalam sholat, dan berusaha khusyu’ sehingga itu semua dapat menyempurnakan shalat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah “Shalat bisa mencegah dari kemungkaran jika shalat tersebut dilakukan dalam bentuk sesempurna mungkin”.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin melanjutkan, “Ketika shalat, seharusnya seseorang mengkonsentrasikan diri untuk dekat pada Allah. Jangan sampai ia menoleh ke kanan dan ke kiri sebagaimana kebiasaan sebagian orang yang shalat. Jangan sampai terlintas di hati berbagai pikiran ketika sudah masuk dalam shalat.”
Agar sikap mencegah perbuatan keji dan munkar ini dapat teralisasikan, yang terlebih dahulu kita perhatikan adalah syarat sah atau syarat diterimanya sholat, ada 2 hal, yakni :
1. Ikhlas karena Allah Ta’ala
Ikhlas adalah memurnikan niat dalam beribadah kepada Allâh, semata-mata mencari ridha Allâh, dan mengharapkan pahala atau keuntungan di akhirat. Serta membersihkan niat dari syirik niat, riya’, sum’ah, mencari pujian, balasan, dan ucapan terimakasih dari manusia, serta niat duniawi lainnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allâh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”. [Al-Bayyinah/98: 5]
Orang yang ikhlas akan mencari ridha Allâh Azza wa Jalla, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang berbuat demikian (yaitu: memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia) karena mencari keridhaan Allâh, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”. [An-Nisa’/4: 114]
Maka dari itu, hendaknya kita senantiasa ikhlas dalam melaksanakan sholat, karena seseorang yang melakukan ibadah dengan meniatkannya untuk selain Allâh, seperti menginginkan pujian manusia, atau keuntungan duniawi, atau melakukannya karena ikut-ikutan orang lain tanpa meniatkan amalannya untuk Allâh, atau seseorang yang melakukan ibadah dengan niat mendekatkan diri kepada makhluk, maka ibadahnya tidak akan diterima, tidak akan berpahala. Demikian juga jika seseorang meniatkan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla, tetapi niatnya dicampuri riya’, amalannya gugur.
2. Ittiba’ (Sesuai tuntunan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Ittibâ’ adalah mengikuti tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang telah bersyahadat bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh, maka syahadat tersebut memuat kandungan berupa meyakini berita Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mentaati perintah Beliau, menjauhi larangan Beliau, dan beribadah kepada Allâh hanya dengan syari’at Beliau. Oleh karena itu, barangsiapa membuat perkara baru dalam agama ini, maka itu tertolak. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. [Ali ‘Imran/3: 85].
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dia larang kepadamu, maka tinggalkanlah”. [Al-Hasyr/59: 7]
Ayat ini nyata menjelaskan kewajiban ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini, apa-apa yang bukan padanya, maka itu tertolak”. [HR. Al-Bukhâri, no. 2697; Muslim, no. 1718].
Maka hendaknya dalam melakukan suatu ibadah kita selalu ber ittiba’ atau sesuai dengan petunjuk Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena islam ini adalah agama yang sempurna, dan Rosulullah pun telah mengajarkan semua hal dengan sempurna kepada umatnya, tak ada yang tidak diajarkan oleh Rosulullah, bahkan perkara sepele saja Rosululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan contohnya ketika kencing, kita diajarkan untuk duduk.
Setelah kita mengetahui syarat sah atau syarat diterimanya sholat, yang perlu kita perhatikan dan penuhi selanjutnya adalah rukun sholat, perkara sunnah dalam sholat, dan senantiasa khusyu’ dalam sholat.
Jika ternyata dalam sholat kita tidak demikian, maka patutlah kita mengoreksi diri. Bagaimana mungkin konsep sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar ini bisa teraplikasikan, sedangkan dalam sholat yang selalu kita tegakkan saja, masih belum memperhatikan dan memenuhi hal-hal yang dapat menyempurnakan sholat. Maka dari itu, hendaklah kita perhatikan dan penuhi hal-hal yang dapat menyempurnakan sholat kita, sehingga konsep sholat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar dapat terwujud.
Semoga Allah selalu berikan kepada kita kefaqihan terhadap agama, kefaqihan merupakan pemahaman atau kefahaman yang Allah berikan kepada seorang hamba. Pemahaman yang lurus tentang Al-Qur’an dan hadits didasari dengan kebeningan hati dan aqidah yang shahih. karena dengan Allah memberikan kefaqihan terhadap agama bearti Allah menginginkan kebaikan untuk kita. Sebagaiman sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, yang artinya : “Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam masalah agama (ini).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Wallahu a’lam
Penulis : Hadi Wijaya/AKMI
Editor : Rafif/AKMI
Jazakumullahu khoiron :
• https://almanhaj.or.id/
• https://rumaysho.com/
“Dan barangsiapa yang berbuat demikian (yaitu: memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia) karena mencari keridhaan Allâh, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”. [An-Nisa’/4: 114]
Maka dari itu, hendaknya kita senantiasa ikhlas dalam melaksanakan sholat, karena seseorang yang melakukan ibadah dengan meniatkannya untuk selain Allâh, seperti menginginkan pujian manusia, atau keuntungan duniawi, atau melakukannya karena ikut-ikutan orang lain tanpa meniatkan amalannya untuk Allâh, atau seseorang yang melakukan ibadah dengan niat mendekatkan diri kepada makhluk, maka ibadahnya tidak akan diterima, tidak akan berpahala. Demikian juga jika seseorang meniatkan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla, tetapi niatnya dicampuri riya’, amalannya gugur.
2. Ittiba’ (Sesuai tuntunan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
Ittibâ’ adalah mengikuti tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang telah bersyahadat bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allâh, maka syahadat tersebut memuat kandungan berupa meyakini berita Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mentaati perintah Beliau, menjauhi larangan Beliau, dan beribadah kepada Allâh hanya dengan syari’at Beliau. Oleh karena itu, barangsiapa membuat perkara baru dalam agama ini, maka itu tertolak. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. [Ali ‘Imran/3: 85].
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dia larang kepadamu, maka tinggalkanlah”. [Al-Hasyr/59: 7]
Ayat ini nyata menjelaskan kewajiban ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini, apa-apa yang bukan padanya, maka itu tertolak”. [HR. Al-Bukhâri, no. 2697; Muslim, no. 1718].
Maka hendaknya dalam melakukan suatu ibadah kita selalu ber ittiba’ atau sesuai dengan petunjuk Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena islam ini adalah agama yang sempurna, dan Rosulullah pun telah mengajarkan semua hal dengan sempurna kepada umatnya, tak ada yang tidak diajarkan oleh Rosulullah, bahkan perkara sepele saja Rosululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ajarkan contohnya ketika kencing, kita diajarkan untuk duduk.
Setelah kita mengetahui syarat sah atau syarat diterimanya sholat, yang perlu kita perhatikan dan penuhi selanjutnya adalah rukun sholat, perkara sunnah dalam sholat, dan senantiasa khusyu’ dalam sholat.
Jika ternyata dalam sholat kita tidak demikian, maka patutlah kita mengoreksi diri. Bagaimana mungkin konsep sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar ini bisa teraplikasikan, sedangkan dalam sholat yang selalu kita tegakkan saja, masih belum memperhatikan dan memenuhi hal-hal yang dapat menyempurnakan sholat. Maka dari itu, hendaklah kita perhatikan dan penuhi hal-hal yang dapat menyempurnakan sholat kita, sehingga konsep sholat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar dapat terwujud.
Semoga Allah selalu berikan kepada kita kefaqihan terhadap agama, kefaqihan merupakan pemahaman atau kefahaman yang Allah berikan kepada seorang hamba. Pemahaman yang lurus tentang Al-Qur’an dan hadits didasari dengan kebeningan hati dan aqidah yang shahih. karena dengan Allah memberikan kefaqihan terhadap agama bearti Allah menginginkan kebaikan untuk kita. Sebagaiman sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, yang artinya : “Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, Allah akan faqihkan ia dalam masalah agama (ini).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Wallahu a’lam
Penulis : Hadi Wijaya/AKMI
Editor : Rafif/AKMI
Jazakumullahu khoiron :
• https://almanhaj.or.id/
• https://rumaysho.com/
Sholat Jalan, Tapi Kok Maksiat Susah Ninggalin?
Reviewed by AKMI Untirta
on
Juli 01, 2020
Rating:
Tidak ada komentar: