Belajar dari kesederhanaan hidup Moh.Natsir
Mohammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908, dengan gelar Datuk Sinaro Panjang, dan Mohammad Natsir meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada usia 84 tahun. Ia adalah perdana menteri kelima Republik Indonesia. Ia juga pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi dan salah seorang tokoh Islam terkemuka di Indonesia.
Pada masa kecilnya Natsir belajar di HIS Solok dan di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Selanjutnya pada tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di MULO, dan kemudian melanjutkan ke AMS Bandung hingga tamat pada tahun 1930.
Moh. Natsir dalam Pemilu 1955. Sumber foto: Howard Sochurek. Time Life Photo Collections. https://artsandculture.google.com/asset/indonesian-elections
Pada saat di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. Pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan untuk memperdalam ilmu keagamaannya. Dengan keunggulan ilmu spiritualnya, ia banyak menulis perihal agama, kebudayaan, dan pendidikan.
Natsir juga dikenal sebagai pribadi yang aktif. Ia memiliki banyak pengalaman organisasi seperti menjadi Wakil Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress), ketua Dewan Masjid se-Dunia, serta anggota Dewan Eksekutif Rabithah Alam Islamy yang berpusat di Mekkah, dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Karir politik Natsir dimulai ketika pada tanggal 5 April 1950 Natsir mengajukan mosi intergral dalam sidang pleno parlemen, di mana mosi ini berhasil memulihkan keutuhan bangsa Indonesia dalam Negara Kesatuan RI (NKRI). Karena prestasi inilah Natsir diangkat menjadi perdana menteri oleh Bung Karno. Presiden RI menganggap Natsir mempunyai konsep untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi.
Namun posisinya sebagai Perdana menteri tidak berlangsung lama. Ia mendapat penolakan dan perlawanan dari Partai Nasional Indonesia. Terhitung dua kali anggota Partai Nasional Indonesia di parlemen memboikot sidang sehingga tak memenuhi kuorum. Akhirnya Natsir mengembalikan mandat sebagai perdana menteri.
Secara kepribadian, pria yang banyak berjasa untuk perkembangan dakwah Islam dikenal sebagai pribadi yang berbicara penuh sopan santun, rendah hati dan bersuara lembut meskipun terhadap lawan-lawan politiknya. Ia juga sangat bersahaja dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.
Saat Natsir menjadi Perdana Mentri RI Pertama dan Menteri Penerangan pada masa Sutan Sjahrir, tak sungkan-sungkan untuk pulang ke rumah naik becak sehabis jam kerja. Sosok yang selama hidupnya dikenal santun ini, walaupun pernah menjadi Menteri Penerangan bahkan Perdana Menteri, memilih hidup bersahaja daripada mewah. Padahal, dengan jabatan yang dimiliki, bisa saja beliau menggunakan fasilitas yang ada. Namun, murid A. Hassan ini tetap mempertahankan gaya hidup sederhana.
Kesederhanaan Natsir itu juga berimplikasi pada sifat-sifatnya yang teduh, dan tutur katanya yang halus, meski berbeda pendapat atau bahkan berpolemik dengan lawan-lawan politiknya.
Saat menjadi menteri bertahun-tahun Natsir harus menumpang hidup di paviliun sahabatnya, Prawoto Mangkusaswito, di kampung Bali, Tanah Abang. Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Nasir menumpang di paviliun milik keluarga Agus Salim.
Natsir juga satu-satunya pejabat pemerintah yang pulang dari Istana dengan membonceng sepeda sopirnya, sesudah menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno. Tepatnya 21 Maret 1951, Natsir menyerahkan jabatan dan mengembalikan mobil dinasnya. Ia berboncengan sepeda dengan sopirnya menuju rumah dinasnya di Jalan Proklamasi. Setelah mampir sebentar di rumah dinasnya, Natsir kemudian segera mengajak istri dan anaknya pindah. Mereka kembali menempati rumah pribadi yang sempit di Jalan Jawa.
Pada masa Muhammad Natsir, ada seorang Reporter yang bernama Ramadhian Fadillah, dia melaporkan bahwasanya Natsir ialah seorang tokoh yang sederhana. Ramadhian Fadhillah juga melaporkan bahwa Natsir "tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah." Apalagi, kemejanya cuma dua setel dan sudah butut pula.
Sewaktu dia mundur sebagai Perdana Menteri pada Maret 1951, sekretarisnya -Maria Ulfa, menyerahkan padanya sisa dana taktis dengan banyak saldo yang sebenarnya juga hak Perdana Menteri. Natsir menolak, dan dana itu dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser dia ambil. Natsir dikatakan menolak mobil Chevrolet Impala. Padahal, di rumahnya dia hanya memiliki mobil tua, De Soto yang dia beli sendiri untuk mengantar-jemput anak-anaknya. Sebelum dia pindah ke Jalan Jawa, dia berpindah ke Jalan Pegangsaan Timur yang ada di Jakarta.
Begitulah seorang tokoh yang bernama Moh. Natsir yang sangat sederhana di masa hidupnya walaupun sebagai seorang pejabat akan tetapi beliau tak enggan untuk hidup dengan apa yang ia miliki tanpa ada kata bermewah-mewahan. Kesederhanaan Moh. Natsir pun terpancarkan dari sifat-sifat yang ia miliki dan tutur kata yang lemah lembut kepada siapapun tanpa memandang kawan ataupun lawan.
Penulis : Siti Badriah/AKMI
Editor : Restiana/AKMI
Sumber:
https://m.merdeka.com/mohammad-natsir/profil/https://m.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2013/03/13/5462/politisi-islam-belajarlah-pada-kesederhanaan-natsir.html
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir
https://www.dara.co.id/perjuangan-dan-kesederhanaan-hidup-politisi-islam.html
https://m.merdeka.com/peristiwa/4-cerita-sederhananya-rumah-pejabat-indonesia-zaman-dulu.html
Belajar dari kesederhanaan hidup Moh.Natsir
Reviewed by AKMI UNTIRTA
on
Juli 17, 2020
Rating:
Tidak ada komentar: