Tuhan Memeluk Mimpiku

Tuhan Memeluk Mimpiku
Oleh : Restiana, Mahasiswi Untirta FEB 2018

"Dek, maaf. Mama tidak bisa mendukung impian kamu." Matanya sayu, menyisakan isak tangis yang masih tersedu-sedu.

"Adek cuma butuh doa, Ma. Doa dan senyuman Mama. Adek yakin, tahun ini Adek bisa kuliah tanpa harus membebani Mama dan bapak."

Lalu Mama beranjak dari duduknya. Meninggalkanku yang masih terkulai lemas sebab harus menerima kenyataan bahwa mimpiku tidak dapat persetujuan. Padahal, mimpi ini begitu erat. Ku yakin ini bukan sekedar angan. Ku yakin bahwa aku akan membanggakan mereka. Walau pun kutahu, bapak hanya supir angkutan yang tidak punya gaji tetap. Untuk makan saja kami susah payah, kembang kempis. Ku paham, kenapa Mama begitu pesimis bahwa aku bisa kuliah.

***

"Saat itu, 12 Januari 2018." Aku berusaha mengingat momen haru ketika menyampaikan planning pada mama.

Seluruh mata tertuju padaku, ada yang mulai menjatuhkan air mata, ada yang sedang berpangku dagu, ada yang menunduk seraya mengingat orang tua mereka di kampung halaman masing-masing.

Suasana kelas mengharukan gegara kisah juang ku tahun lalu. Tepat satu tahun lalu.
"Lalu Ran, bagaimana bisa kamu akhirnya berhasil meyakinkan mamamu?" Andini bertanya penasaran.

Saat itu, aku tak berhenti sampai percakapan berakhir tangisan. Aku kembali memantapkan niatku. Beranjak dan memulai lagi pelajaran yang akan diujikan saat SBMPTN nanti. Ya, walau pun masih enam bukan lagi. Setidaknya, aku harus mempersiapkan kegagalaku di SNMPTN yang pengumumannya sebentar lagi.

Di sekolah, Pak Agus memanggilku untuk datang ke ruang BK.

Setelah beberapa percakapan permisi dan pembuka, beliau dengan teramat halus bertanya, "Rana, kamu siswi berprestasi. Di ranking paralel kamu berada di peringkat  2 seangkatan. Sayang kalau tidak lanjut pendidikamu."

Aku diam. Tak tahu harus jawab bagaimana, terasa bisu seluruh saraf mulutku. Tersenyum saja akhirnya yang ku mampu. Mengangguk untuk menghargai dukungan guru BK terbaikku.

"Bagaimana? Sudah ada universitas yang kamu pilih? Jurusan apa?" Beliau tersenyum hangat.

"Sudah, Pak" Aku menunduk.

"Syukurlah. Kalau ada hal-hal yang membuatmu ragu, jangan sungkan untuk konsultasi ke Bapak."
***
Waktu terus pamit. Hari tak sungkan untuk berganti. Dan aku, masih bersama mimpi di tahun ini.

"Ran, ibuku maunya aku kuliah di universitasyag dekat dengan nenek, di bogor." Arini bercerita dengan raut wajah sedihnya. Aku, menatap Arini.

"Rin, enak sekali mendapat arahan harus kuliah dimana. Rasanya indah. Sedangkan aku? Bilang ingin kuliah saja, mama harus menangis dulu untuk mengatakan tidak. Rin, impian tidak bisa ditunda. Tahun ini, jangan sampai hanya karena orang tuamu tidak ridho, kamu menunda tahun depan. Ikutilah apa kata ibumu. Pasti itu yang terbaik. "

Sahabatku menunduk. Memeluk erat diriku. Aku, tersenyum pelan.
"Maaf, Ran."

***

"Ma, Rana sudah daftar beasiswa. Pengumumannya nanti saat sudah dinyatakan diterima lolos seleksi masuk PTN."

Lagi-lagi mama hanya tersenyum. Mungkin juga hanya karena tidak mau melukaiku. Lagi pula, kalau pun aku lolos masuk PTN di tahun ini, tapi tidak lolos beasiswa, aku akan dengan sadar diri untuk tetap tidak melanjutkan pendidikanku. Begitu kiranya mama berpikir.

"Rana hanya minta doa dan ridho mama. Rana yakin, Rana bisa kuliah dengan beasiswa ini, Ma."
Tentu, mama hanya tersenyum. Meskipun kali ini ditambah dengan pelukan hangatnya.

"Doa mama untuk kamu, tidak akan pernah terbenam. Akan selalu mengiringi langkah kamu. Jadi, jangan sedih lagi. Tawakal, selepas ikhtiar itu perlu."

Dan aku kembali melanjutkan rangkuman pelajaran. Bersahabat dengan malam, hingga tertidur Samoa tengah malam. Lalu, dengan niat kembali bangun di sepertiga malam. Ya, dua ribu delapan belas akan menjadi tahun bersejarah sepanjang delapan belas tahun aku bernafas.

Matahari berseri lagi. Aku melangkah menuju sekolah, diiringi suara merdu ustaz yang melantunkan surah favoritku dalam MP3.

17 April 2018, hari ini.
Bersiaplah. Aku harus menerima apapun kehendak Tuhan, ku pikir begitu. Dan memang harus begitu. Semua teman Angkatan ku sedang bersiap menanti pengumuman. Tentu, begitu pun aku.
"Semangat ya temen-temen. Apapun, tawakal nomor satu!"

Aku seperti biasa, riang gembira. Seakan pengumuman masih lama. Setidaknya, aku sudah mempersiapkan diri kalau tidak lolos nanti. Dan, harus mengencangkan ikat pinggang untuk memperjuangkan di seleksi berikutnya.

Bel berdering. Aku pun bergegas menutup buku dan memasukkan ke dalam tas. Pulang.
"Aku pulang duluan ya, Rin. Daah."

***

Anda dinyatakan tidak lolos seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri 2018.

Jangan tanya apa perasaanku. Kalut. Seperti diinjak begitu saja mimpiku. Menangis, tentu. Merasa kalah.

Tapi itu semua tidak lama. Aku segera menyambut buku-buku yang selama ini kutekuni. Ya, kenapa harus sejatuh ini? Bukankah sejak jauh-jauh hari aku sudah mempersiapkan diri?

***

Satu  bulan setelah pengumuman.

2 Mei 2018. Tersebab aku tidak lolos seleksi nasional, maka hari ini aku harus mengikuti pertempuran bersama. Ya, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri!

"Ma, doakan Rana. Rana hari ini test, Rana mohon ridho mama." Aku pamit seraya mencium punggung tangan malaikat tak bersayapku. Bapak, seperti biasa. Masih bertarung dengan matahari dan hujan. Ya, mencari nafkah. Berkeliling mengantarkan penumpang hingga ke tujuannya.

"Mendoakan kamu sudah menjadi tugas Mama. Tugas kamu, berikhtiar. Juga tawakal jangan lupa."

Aku tersenyum. Melangkah setelah mama menjawab salamku.

Hari ini, sepagi ini, hari pertamaku memberanikan diri menaiki bus antar kota. Lokasi seleksiku berjarak 20 KM dari rumah. Tak masalah, untung lah manusia memiliki perusahaan transportasi begini, kalau nanti aku lolos, aku akan menyampaikan Terimakasih ku salah satunya pada supir bus ini. Karena telah menjadi bagian dari perjalananku menggapai mimpiku tahun ini.

Terkesan berlebihan memang. Tapi, bagi anak kampung yang terlahir dari seorang ibu rumah tangga dengan gaji dari bantu-bantu hajatan tetangga, dan dari seorang ayah yang hanya sebatas supir angkutan kota. Untuk menjadi mahasiswa tidaklah semudah berucap ahli sulap.

Satu jam. Bersama bisingnya bus kota, pengamen yang selalu setia, penumpang yang hilir mudik turun naik dengan suka cita. Akhirnya, aku tiba.

SMA Prisma Bangsa. Tempatku memperjuangkan mimpiku. Ayolah, lihat. Mereka tersenyum. Bahkan, mereka masih sempat tertawa di hari peperangan dimulai. Lalu, apa penghalang bagiku? Maka, aku memutuskan untuk tersenyum lebih lebar dari mereka. Memulai dengan bismillah. Melangkah.

Hari ini tak akan mungkin kulupakan. Bersama soal-soal yang mengesankan, aku benar-benar tak mau lagi terkesan. Biarlah. Setelah semua soal kujawab meski ada yang terlewat, kini waktunya aku tawakal. Berserah senyerah-nyerahnya.

***

Selesai. Pertempuran bermakna di tahun ini usai. Tinggal menunggu pengumuman. Dan esok, adalah hari yang semua pejuang dua ribu delapan belas nantikan.

Aku harus berjanji, jangan sampai ada air mata apapun hasil dari pengumuman nanti. Dan aku harus tidur dengan nyenyak tanpa harus membual apapun hasil dari yang ku perjuangan dan ku impikan selama ini.

Hingga..

3 Juli 2018, 15.00.

Selamat, Anda dinyatakan lolos seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri.

Allah..

Aku, menangis. Haru.

"Ma, Rana lolos, Ma. Rana kuliah."

"Alhamdulillah. Semoga ini yang terbaik buat Rana..." Sama harunya, Mama memelukku hangat.

***

Dan tahun 2018 benar-benar bermakna. Enam bulan sudah aku menjadi mahasiswa. Menyandang almamater tercinta.

Setelah pengumuman lolos perguruan tinggi, beberapa minggu setelahnya aku pun dinyatakan lolos seleksi beasiswa. Dan benar, Tuhan memeluk mimpi-mimpiku. Aku lolos. Nikmatnya begitu bertubi-tubi menghampiri. Aku kuliah tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Dan ini janjiNya, untuk hamba-hambaNya yang berserah sepenuhnya pada kuasaNya.

***

Tuhan Memeluk Mimpiku Tuhan Memeluk Mimpiku Reviewed by AKMI Untirta on Agustus 09, 2019 Rating: 5

1 komentar:

Photo on Flickr

Diberdayakan oleh Blogger.